Ada sebuah anekdot yang bisa menjawab pertanyaan mengapa sampai saat
ini bangsa Indonesia tetap miskin, sementara negara-negara lain yang
dulunya bernasib sama, kini melesat jauh meninggalkan kita? Ternyata
jawabannya sederhana. Semua masalah berpangkal pada pasal 34 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak
telantar dipelihara oleh negara”. Seandainya kata
“dipelihara” tidak digunakan, atau kata tersebut dahulu oleh
founding fathers ditulis
“dibiayai”
oleh negara, pasti hasilnya akan berbeda, yakni tidak akan ada lagi
fakir miskin dan anak-anak telantar di Indonesia. Mengapa bisa demikian?
Ya, kata “dipelihara” adalah “persoalan psikologis” yang mengakibatkan
penguasa berperilaku seperti pemelihara ternak. Negara tampaknya
menggunakan logika
ngawur, menganggap wajar jika sesuatu
(termasuk orang miskin dan anak-anak telantar) dipelihara, jumlahnya
akan semakin berkembang biak. Seandainya pemerintah harus “membiayai”
sedemikian banyak jumlah orang miskin dan anak-anak telantar, niscaya
secara psikologis akan merasa rugi sehingga tidak mau berlama-lama
mengeluarkan berbagai biaya. Maka yang dilakukan pemerintah berikutnya
adalah segera cepat-cepat menyejahterakan rakyatnya dan menghilangkan
segala bentuk kemiskinan.
Anekdot di atas hanyalah satire tentang kemiskinan di Indonesia.
Tanpa bermaksud menganalogikan orang miskin seperti ternak peliharaan,
kebijakan pemerintah tentang kemiskinan selama ini diakui atau tidak
memang penuh dengan ironi dan paradoks. Berkaca pada amanat
Undang-Undang Dasar 1945 misalnya, yang sangat jelas menyebut “Fakir
miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara” ternyata
praktiknya menunjukkan kontradiksi. Bahkan, kendatipun Indonesia telah
meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, kenyataannya rakyat
Indonesia masih tetap berkubang dalam kemiskinan.
Mengapa tiba-tiba blog bincang media membahas kemiskinan? Sejujurnya,
tulisan ini saya post karena gerah melihat statemen-statemen narasumber
berita di media tentang kondisi kemiskinan di Indonesia yang ironisnya
dikutip mentah-mentah oleh reporter. Seolah-olah jika pemerintah membuat
statemen tentang penurunan angka kesmikinan, kemudian pernyataan
tersebut diklarifikasi ke Biro Pusat Statistik (BPS) atau pengamat
ekonomi, kewajiban media sudah selesai. Apalagi jika media sampai pada
kesimpulan “Indonesia masih miskin, pemerintah gagal” seakan media telah
berjasa menjalankan fungsi sebagai pahlawan masyarakat. Gambar-gambar
liputan yang ditampilkan pun klise: rumah-rumah liar di daerah kumuh,
balita yang menangis menyayat hati, atau potret ibu-ibu yang mengantri
panjang menunggu giliran menukar kupon sembako. Berangkat dari hipotesis
tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan persoalan kemiskinan dalam
konteks ke-Indonesiaan, dimulai dari pengertian kemiskinan sampai
perdebatan seputar indikator pengukuran kemiskinan. Pemahaman ini
minimal harus diketahui oleh wartawan yang meliput berita kemiskinan.
Kemiskinan (dalam berbagai spektrum pemaknaan) tidak dapat hanya menjadi
tugas pemerintah, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama,
termasuk media.
Perdebatan Definisi Kemiskinan: Dari Konseptual, Indikator, hingga Statistik
Dalam buku
Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Aris
Ananta (2006: 198) menengarai, perdebatan mengenai pendefinisian orang
miskin bukan perkara mudah. Menurutnya pendekatan kuantitatif yang lazim
dipakai untuk mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan kebutuhan
minimum untuk kehidupan yang layak. Namun demikian “kehidupan yang
layak” juga memerlukan pendefinisian tersendiri. Para sarjana memiliki
penjabaran yang beragam untuk istilah ini. Setiap penjabaran mempunyai
kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya menggunakan pendekatan ekonomi
dalam mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan
maupun kebutuhan lainnya.
Garis kemiskinan makanan adalah
jumlah rupiah yang dibutuhkan agar seseorang dapat mengonsumsi 2100
kalori per hari selama sebulan. Rata-rata seorang manusia memerlukan
2100 kalori per hari agar hidup sehat. Sementara itu
garis kemiskinan nonmakanan
ditentukan berdasarkan perhitungan mengenai kebutuhan dasar seperti
perumahan, pakaian, kesehatan, dan transportasi (Ananta, 2006: 198).
Menurut Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada,
Kompas,
13 November 2007), kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks,
tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat
konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat
pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam
dalam proses pengambilan keputusan publik
, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Senada dengan pandangan Farhan, Gregorius Sahdan (
Jurnal Ekonomi Rakyat, Maret 2005) menyebut
kemiskinan sebagai konsep yang sangat beragam, mulai dari sekadar
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki
keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian lebih luas
yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ia menyitir pendapat yang
mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan
lingkungan dalam suatu masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa kemiskinan
merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang
diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi
yang sangat lemah dan tereksploitasi
(kemiskinan struktural).
Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang
dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka
seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi
standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang
sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi kemiskinan konsumsi
sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin,
tetapi definisi ini sangat kurang memadai dalam menjelaskan kemiskinan
karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat
menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan
cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak
bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan
lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Dalam pandangan modern, kemiskinan dalam berbagai bidang sebagaimana
disebut sebagai kemiskinan plural karena ditanggung secara bersama-sama
dalam satu komunitas. Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang
ditanggung komunitas, yaitu: 1).
Kemiskinan sub-sistensi, yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; 2).
Kemiskinan perlindungan,
yakni lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi),
kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; 3).
Kemiskinan pemahaman: kualitas
pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang
menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk
mengupayakan perubahan; 4).
Kemiskinan partisipasi, yang berarti tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; 5).
Kemiskinan identitas, yaitu terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi; 6).
Kemiskinan kebebasan, yang ditandai dengan tingginya stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
Dalam kaitan pendefinisian kemiskinan yang kompleks ini, BAPPENAS
(2001) mendefinisikan kemiskinan secara lebih komprehensif, dengan
melihat kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan, yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar masyarakat tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS
menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan
dasar
(basic needs approach), pendekatan pendapatan
(income approach), pendekatan kemampuan dasar
(human capability approach) dan pendekatan
objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan
(lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum,
antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan,
kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat
produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga
secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini, menentukan secara
rigid, standard pendapatan
seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan
fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan
tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan
keputusan.
Pendekatan objektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan
(the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Pendekatan subjektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (BPS, UNDP, BAPPENAS, 2001).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat
dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak
layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3)
kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan
kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial
dan ekonomi; (6) ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah; dan (7)
akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.
Indikator-indikator pada bahasan di atas oleh oleh BAPPENAS dipertegas dengan rumusan konkret sebagai berikut ini;
Pertama,
terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status
gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan
tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari.
Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih
dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
Kedua, terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan
kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya
pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan
reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit
masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin
cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan
oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen
dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai
suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001)
penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin (BPS,
2004);
Ketiga, terbatasnya akses dan rendahnya
mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya
pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang
mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban
biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
Keempat, terbatasnya kesempatan kerja dan
berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah
serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja
perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
Kelima, terbatasnya akses layanan perumahan
dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan,
pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh
perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu
rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas
sanitasi yang kurang memadai;
Keenam, terbatasnya akses terhadap air
bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh
terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
Ketujuh, lemahnya kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan
struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani
sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi
anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
Kedelapan, memburuknya kondisi lingkungan
hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap
sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan,
kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat
tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
Kesembilan, lemahnya jaminan rasa aman.
Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun
(1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan
lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi
cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih
dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
Kesepuluh, lemahnya partisipasi. Berbagai
kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak,
dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog
dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya
partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan
oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan
maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
Kesebelas, besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup
yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin
mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga
tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai
anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di
perdesaan adalah 4,8 orang.
Sementara itu, Bank Dunia (2003; dalam Sahdan,
Op. Cit)
menyebutkan, penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan
terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan
dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias
perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara
anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya
perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas
dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan
lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik
(good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan
tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara
anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi,
rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang
buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Dari kajian epsitemologi, menurut penyebabnya, kemiskinan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
kemiskinan individual, kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan individual yaitu
kemiskinan yang disebabkan karena individu yang bersangkutan memang
memiliki ciri individual (sifat, karakter) yang membuatnya jadi miskin.
Sementara itu
kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang
disebabkan oleh kondisi alam yang buruk dan hampir tak memungkinkan
orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kemiskinan struktural
yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor struktural didalam
masyarakat seperti peraturan-peraturan, sistem birokrasi, kebijakan
pemerintah, praktek-praktek pembangunan yang koruptif dan sebagainya,
terakhir k
emiskinan kultural: yaitu kemiskinan yang
disebabkan karena masyarakat setempat mengembangkan budaya (sistem
kepercayaan, sistem nilai, pranata sosial dsb.) yang menghambat usaha
pembangunan atau pengentasan kemiskinan (Wirutomo, 2007).
Menurut Giddens (2001: 311), kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi “
kemiskinan absolut” dan “
kemiskinan relatif”.
Orang disebut miskin absolut bila kemiskinannya berada di bawah garis
batas yang telah ditentukan (garis kemiskinan). Kemiskinan relatif
adalah kemiskinan yang dipersepsikan oleh orang yang bersangkutan.
Walaupun seseorang tidak tergolong miskin secara absolut, tetapi dia
bisa merasa dirinya miskin.
Pemaparan beragam perspektif yang melihat kompleksitas kemiskinan di
atas menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan secara mudah
dan simplistik karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi
kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat
ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain tersebut diperhitungkan. Dari
berbagai definisi tersebut di atas, maka jika disimpulkan, indikator
utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2)
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan
kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan
perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan
hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap
sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya
partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk
yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik,
meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Sementara itu, evolusi mengenai arti kemiskinan dan pengukurannya
berkembang dari waktu-ke waktu. Andre Sumner (2007) memetakan nya
sebagai berikut:
Tabel 1. Evolusi Makna dan Pengukuran Kemiskinan
Period |
Concept of Poverty |
Measurement of Poverty |
1960s |
Economic |
GDP per capita growth |
1970s |
Basic needs (inc.economic) |
GDP per capita growth + Basic needs |
1980s |
Economic |
GDP per capita |
1990s |
Human development (inc.economic) |
UNDP Human Development Indices |
2000s |
Multi-dimensional ‘freedom’ |
Millenium Development Goals |
Andre Sumner (2007)
Tabel. 2 Indikator Ekonomi dan Non-ekonomi Untuk Mengkur Kemiskinan
Economic poverty indicators |
- Income per capita
- Real wages
- Unemployment rate*
|
|
|
Income poverty lines |
- Percentage of population living on less than one dollar per capita*
- Percentage of population living below the national poverty line
- Percentage of population vulnerable to poverty through variance of income or assets
|
|
|
Income inequalty |
- Poverty gap and severitu indices at a dollar a day per capita*
- Expenditure of bottom quintile as percentage of total expenditure*
- Gini co-efficient
|
|
|
Non Economic Poverty Indicators |
Education |
- Education enrolment rates*
- Survival to the final grade of primary or secondary school/completion of of primary or secondary school*
- Literacy rates*
|
|
|
Health and Nutrition |
- Malnutrition rates*/food or calorie consumption per capita/body-mass index
- Mortality and morbidity rates/life expectancy/not expected to survivve to 40 years/infection rates*
- Health service usage-skilled personnel at birth/*contraceptive-prevalence rate*/immunisation rates*
|
|
|
Environment |
- Acces to ‘impreved’ water sources*
- Acces to ‘adequate’ sanitation*
- Household infrastructure-permanet material used for walls of homes; electricity supply
|
|
|
Andre Sumner (2007)
Note: * denotes indicator is a Millenium Development Goal
Bagaimana pemerintah kita memahami kemiskinan? Fakta di lapangan
menunjukkan, selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia dilakukan dengan program-program pembangunan penyediaan
kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana
bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan,
penyuluhan sanitasi, dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan
strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi
pertumbuhan fisik (material), sehingga keberlanjutannya sangat
tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di
samping itu, tatanan pemerintahan yang tidak demokratis menyebabkan
rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi
kemiskinan dengan cara mereka sendiri. Inilah kesalahan paradigma
pembanguan di negara kita yang tidak berpusat pada rakyat
(people centered development), padahal untuk mengentaskan masyarakat miskin,
blue print yang bermuatan
option of the poor menjadi sebuah keniscayaan.
Kemiskinan merupakan realitas yang umurnya setua peradaban manusia,
tapi pemahaman terhadapnya dan upaya untuk mengatasinya belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kemiskinan (dalam berbagai
spektrum pemaknaan) sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya
diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan,
tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku
pembangunan, termasuk media.
Yusuf, Iwan Awaluddin. “Judul Artikel”.
http://bincangmedia.wordpress.com +URLnya. Tanggal akses), atau sesuai dengan etika dan tata cara pengutipan yang berlak