Menyusuri gang-gang sempit di kawasan perkampungan Pecinan, Glodok
Jakarta Barat, seakan memberi nuansa etnis China yang begitu kental.
Dominasi warna merah dan kuning sebagai warna khas masyarakat Tionghoa
dapat dijumpai dengan mudah. Bahkan bau khas hio, begitu menyengat
tatkala kita menyusuri setiap lorong yang ada di sana.
Mungkin
orang akan bertanya mengenai alasan mengapa di kawasan Glodok, banyak
masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim. Kabarnya, masyarakat bermata
sipit ini sudah bercokol di sana sejak 3,5 abad silam. Tak heran jika
kawasan tersebut dikenal sebagai daerah Pecinan karena memang mayoritas
warganya adalah etnis China.
Kondisi ini tak lepas dari cerita
sejarah yang berkembang di masyarakat. Dari tahun ke tahun, bahkan jauh
sebelum kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan oleh proklamator Bung
Karno dan Bung Hatta, masyarakat dari etnis China secara turun temurun
telah menetap di kawasan tersebut.
Sejarah pun pernah mencatat
mengenai cerita pembantaian warga Tionghoa di kawasan Angke. Tak hanya
itu, di kawasan Bidaracina pun warga minoritas asal asia timur ini juga
mengalami nasib serupa setelah melakukan pemberontakan pada tahun 1740.
Perlawanan etnis China ini meletus karena keberadaannya begitu
dideskriminasikan oleh Kompeni Belanda.
Setelah pemberontakan itu
terjadi, warga China kemudian diisolasi di sebuah penjara terbuka atau
di sebuah perkampungan dengan pengawasan ketat dari tentara VOC.
Sedangkan sebagian dari mereka yang dianggap menjadi biang kerusuhan
atau otak pemberontakan, dipenjarakan di ruangan bawah tanah yang
terletak di kantor Gubernur VOC, kini menjadi Museum Fatahillah.
Menurut
pengamat sejarah, Arismawan Harjadi, warga Tionghoa dapat hidup berbaur
dengan warga pribumi dan Eropa di kawasan pusat Kota (Kota Tua),
setelah meletus pemberontakan itu. Maka warga Tionghoa tidak
diperbolehkan lagi menetap di dalam pusat Kota. Mereka diasingkan di
luar kota Batavia, dengan mendirikan perkampungan di luar kota yakni di
Glodok dengan melakukan usaha sebagai pedagang.
Seiring
perkembangan kota Batavia, lanjut Aris, di bawah kepemimpinan Gubernur
Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen, peradaban masyarakat Tionghoa di
Glodok makin meningkat. Glodok menjadi perkampungan ramai dan pusat
perdagangan daerah pinggiran. Sebagai kawasan pusat perdagangan, daya
tarik Glodok mengundang banyak perhatian masyarakat sekitar untuk datang
ke kawasan tersebut.
Hingga turunnya JP Coen pada tahun 1811
digantikan Gubenur Jendral VOC yang baru, yakni Deandles, kawasan Glodok
tetap dipertahankan mengingat banyak bangunan kuno dihancurkan.
"Ketertarikan Deandles terhadap Glodok dibuktikan dengan dibangunnya
jalan dari kota lama menuju kota baru di kawasan Gambir dengan melintas
kawasan Glodok. Jalan itu saat ini dikenal dengan nama Jl Gajahmada,"
ujarnya kepada beritajakarta.com, Kamis (22/10).
Masyarakat
keturunan asli Glodok pun menganggap kawasan ini sebagai penjara
massal. Seperti dikatakan Afu (45), warga Petak Sembilan, Glodok,
Jakarta Barat. Para keluarga mereka yang terdahulu, pernah diasingkan di
tempat tersebut, saat zaman penjajahan. "Glodok saat itu merupakan
bentuk diskriminasi penjajah terhadap warga keturunan yang tak lebih
tempat pengasingan atau penjara masal warga Tionghoa," tutur Afu.
Menurut
Afu, keberadaan warga Tionghoa di kawasan tersebut juga mengilhami
pemberian nama Glodok. Pasalnya, dulu sebelum nama Glodok itu ada,
perkampungan ini merupakan kawasan subur karena terdapat penampungan
air. Anehnya, air di tempat penampungan itu selalu mengucur ke pemukiman
penduduk. Kala itu, warga pribumi menyebutnya sebagai `grojokan`. Namun
warga etnis Tionghoa sering menyebut `glodokan`.
Nah karena
penghuninya kebanyakan warga Tionghoa, maka mereka lebih senang menyebut
`Glodok`. Sedangkan daerah pusat pancuran air, kini di namakan
Pancoran, Glodok. Dewasa ini Glodok menjadi nama sebuah kelurahan yang
masuk wilayah Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat dengan jumlah penduduk
Tionghoa sebanyak 75 persen dari 11 ribu jumlah penduduk Kelurahan
Glodok.
Baca selengkapnya »
0 komentar:
Posting Komentar