Senin, 19 September 2011

tionghoa

Menyusuri gang-gang sempit di kawasan perkampungan Pecinan, Glodok Jakarta Barat, seakan memberi nuansa etnis China yang begitu kental. Dominasi warna merah dan kuning sebagai warna khas masyarakat Tionghoa dapat dijumpai dengan mudah. Bahkan bau khas hio, begitu menyengat tatkala kita menyusuri setiap lorong yang ada di sana.

Mungkin orang akan bertanya mengenai alasan mengapa di kawasan Glodok, banyak masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim. Kabarnya, masyarakat bermata sipit ini sudah bercokol di sana sejak 3,5 abad silam. Tak heran jika kawasan tersebut dikenal sebagai daerah Pecinan karena memang mayoritas warganya adalah etnis China.

Kondisi ini tak lepas dari cerita sejarah yang berkembang di masyarakat. Dari tahun ke tahun, bahkan jauh sebelum kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan oleh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, masyarakat dari etnis China secara turun temurun telah menetap di kawasan tersebut.

Sejarah pun pernah mencatat mengenai cerita pembantaian warga Tionghoa di kawasan Angke. Tak hanya itu, di kawasan Bidaracina pun warga minoritas asal asia timur ini juga mengalami nasib serupa setelah melakukan pemberontakan pada tahun 1740. Perlawanan etnis China ini meletus karena keberadaannya begitu dideskriminasikan oleh Kompeni Belanda.

Setelah pemberontakan itu terjadi, warga China kemudian diisolasi di sebuah penjara terbuka atau di sebuah perkampungan dengan pengawasan ketat dari tentara VOC. Sedangkan sebagian dari mereka yang dianggap menjadi biang kerusuhan atau otak pemberontakan, dipenjarakan di ruangan bawah tanah yang terletak di kantor Gubernur VOC, kini menjadi Museum Fatahillah.

Menurut pengamat sejarah, Arismawan Harjadi, warga Tionghoa dapat hidup berbaur dengan warga pribumi dan Eropa di kawasan pusat Kota (Kota Tua), setelah meletus pemberontakan itu. Maka warga Tionghoa tidak diperbolehkan lagi menetap di dalam pusat Kota. Mereka diasingkan di luar kota Batavia, dengan mendirikan perkampungan di luar kota yakni di Glodok dengan melakukan usaha sebagai pedagang.

Seiring perkembangan kota Batavia, lanjut Aris, di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen, peradaban masyarakat Tionghoa di Glodok makin meningkat. Glodok menjadi perkampungan ramai dan pusat perdagangan daerah pinggiran. Sebagai kawasan pusat perdagangan, daya tarik Glodok mengundang banyak perhatian masyarakat sekitar untuk datang ke kawasan tersebut.

Hingga turunnya JP Coen pada tahun 1811 digantikan Gubenur Jendral VOC yang baru, yakni Deandles, kawasan Glodok tetap dipertahankan mengingat banyak bangunan kuno dihancurkan. "Ketertarikan Deandles terhadap Glodok dibuktikan dengan dibangunnya jalan dari kota lama menuju kota baru di kawasan Gambir dengan melintas kawasan Glodok. Jalan itu saat ini dikenal dengan nama Jl Gajahmada," ujarnya kepada beritajakarta.com, Kamis (22/10).

Masyarakat keturunan asli Glodok pun menganggap kawasan ini sebagai penjara massal. Seperti dikatakan Afu (45), warga Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Para keluarga mereka yang terdahulu, pernah diasingkan di tempat tersebut, saat zaman penjajahan. "Glodok saat itu merupakan bentuk diskriminasi penjajah terhadap warga keturunan yang tak lebih tempat pengasingan atau penjara masal warga Tionghoa," tutur Afu.

Menurut Afu, keberadaan warga Tionghoa di kawasan tersebut juga mengilhami pemberian nama Glodok. Pasalnya, dulu sebelum nama Glodok itu ada, perkampungan ini merupakan kawasan subur karena terdapat penampungan air. Anehnya, air di tempat penampungan itu selalu mengucur ke pemukiman penduduk. Kala itu, warga pribumi menyebutnya sebagai `grojokan`. Namun warga etnis Tionghoa sering menyebut `glodokan`.

Nah karena penghuninya kebanyakan warga Tionghoa, maka mereka lebih senang menyebut `Glodok`. Sedangkan daerah pusat pancuran air, kini di namakan Pancoran, Glodok. Dewasa ini Glodok menjadi nama sebuah kelurahan yang masuk wilayah Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat dengan jumlah penduduk Tionghoa sebanyak 75 persen dari 11 ribu jumlah penduduk Kelurahan Glodok.
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dani Quinchy HaluaN 2010

Template By Nano Yulianto