Senin, 19 September 2011

Kemiskinan


Ada sebuah anekdot yang bisa menjawab pertanyaan mengapa sampai saat ini bangsa Indonesia tetap miskin, sementara negara-negara lain yang dulunya bernasib sama, kini melesat jauh meninggalkan kita? Ternyata jawabannya sederhana. Semua masalah berpangkal pada pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. Seandainya kata “dipelihara” tidak digunakan, atau kata tersebut dahulu oleh founding fathers ditulis “dibiayai” oleh negara, pasti hasilnya akan berbeda, yakni tidak akan ada lagi fakir miskin dan anak-anak telantar di Indonesia. Mengapa bisa demikian? Ya, kata “dipelihara” adalah “persoalan psikologis” yang mengakibatkan penguasa berperilaku seperti pemelihara ternak. Negara tampaknya menggunakan logika ngawur, menganggap wajar jika sesuatu (termasuk orang miskin dan anak-anak telantar) dipelihara, jumlahnya akan semakin berkembang biak. Seandainya pemerintah harus “membiayai” sedemikian banyak jumlah orang miskin dan anak-anak telantar, niscaya secara psikologis akan merasa rugi sehingga tidak mau berlama-lama mengeluarkan berbagai biaya. Maka yang dilakukan pemerintah berikutnya adalah segera cepat-cepat menyejahterakan rakyatnya dan menghilangkan segala bentuk kemiskinan.
Anekdot di atas hanyalah satire tentang kemiskinan di Indonesia. Tanpa bermaksud menganalogikan orang miskin seperti ternak peliharaan, kebijakan pemerintah tentang kemiskinan selama ini diakui atau tidak memang penuh dengan ironi dan paradoks. Berkaca pada amanat Undang-Undang Dasar 1945 misalnya, yang sangat jelas menyebut “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara” ternyata praktiknya menunjukkan kontradiksi. Bahkan, kendatipun Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, kenyataannya rakyat Indonesia masih tetap berkubang dalam kemiskinan.
Mengapa tiba-tiba blog bincang media membahas kemiskinan? Sejujurnya, tulisan ini saya post karena gerah melihat statemen-statemen narasumber berita di media tentang kondisi kemiskinan di Indonesia yang ironisnya dikutip mentah-mentah oleh reporter. Seolah-olah jika pemerintah membuat statemen tentang penurunan angka kesmikinan, kemudian pernyataan tersebut diklarifikasi ke Biro Pusat Statistik (BPS) atau pengamat ekonomi, kewajiban media sudah selesai. Apalagi jika media sampai pada kesimpulan “Indonesia masih miskin, pemerintah gagal” seakan media telah berjasa menjalankan fungsi sebagai pahlawan masyarakat.  Gambar-gambar liputan yang ditampilkan pun klise: rumah-rumah liar di daerah kumuh, balita yang menangis menyayat hati, atau potret ibu-ibu yang mengantri panjang menunggu giliran menukar kupon sembako. Berangkat dari hipotesis tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan persoalan kemiskinan dalam konteks ke-Indonesiaan, dimulai dari pengertian kemiskinan sampai perdebatan seputar indikator pengukuran kemiskinan. Pemahaman ini minimal harus diketahui oleh wartawan yang meliput berita kemiskinan. Kemiskinan (dalam berbagai spektrum pemaknaan) tidak dapat hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama, termasuk media.

Perdebatan Definisi Kemiskinan: Dari Konseptual, Indikator, hingga Statistik
Dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Aris Ananta (2006: 198) menengarai, perdebatan mengenai pendefinisian orang miskin bukan perkara mudah. Menurutnya pendekatan kuantitatif yang lazim dipakai untuk mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan kebutuhan minimum untuk kehidupan yang layak. Namun demikian “kehidupan yang layak” juga memerlukan pendefinisian tersendiri. Para sarjana memiliki penjabaran yang beragam untuk istilah ini. Setiap penjabaran mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan lainnya. Garis kemiskinan makanan adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan agar seseorang dapat mengonsumsi 2100 kalori per hari selama sebulan. Rata-rata seorang manusia memerlukan 2100 kalori per hari agar hidup sehat. Sementara itu garis kemiskinan nonmakanan ditentukan berdasarkan perhitungan mengenai kebutuhan dasar seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan transportasi (Ananta, 2006: 198).
Menurut Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November 2007), kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks, tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Senada dengan pandangan Farhan, Gregorius Sahdan (Jurnal Ekonomi Rakyat, Maret  2005) menyebut kemiskinan sebagai konsep yang sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ia menyitir pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi kemiskinan konsumsi sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai dalam menjelaskan kemiskinan karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Dalam pandangan modern, kemiskinan dalam berbagai bidang sebagaimana disebut sebagai kemiskinan plural karena ditanggung secara bersama-sama dalam satu komunitas. Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu: 1). Kemiskinan sub-sistensi, yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; 2). Kemiskinan perlindungan, yakni lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; 3). Kemiskinan pemahaman: kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; 4). Kemiskinan partisipasi, yang berarti tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; 5). Kemiskinan identitas, yaitu terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi;  6). Kemiskinan kebebasan, yang ditandai dengan tingginya stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
Dalam kaitan pendefinisian kemiskinan yang kompleks ini, BAPPENAS (2001) mendefinisikan kemiskinan secara lebih komprehensif, dengan melihat kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid, standard pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan objektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subjektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (BPS, UNDP, BAPPENAS, 2001).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah; dan (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.

Indikator-indikator pada bahasan di atas oleh oleh BAPPENAS dipertegas dengan rumusan konkret sebagai berikut ini; Pertama, terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
Kedua, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi;  jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin (BPS, 2004);
Ketiga, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
Keempat, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
Kelima, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
Keenam, terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
Ketujuh, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
Kedelapan, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
Kesembilan, lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
Kesepuluh, lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
Kesebelas, besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Sementara itu, Bank Dunia (2003; dalam Sahdan, Op. Cit) menyebutkan, penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Dari kajian epsitemologi, menurut penyebabnya, kemiskinan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: kemiskinan individual, kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan individual yaitu kemiskinan yang disebabkan karena individu yang bersangkutan memang memiliki ciri individual (sifat, karakter) yang membuatnya jadi miskin. Sementara itu kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam yang buruk dan hampir tak memungkinkan orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor struktural didalam masyarakat seperti peraturan-peraturan, sistem birokrasi, kebijakan pemerintah, praktek-praktek pembangunan yang koruptif dan sebagainya, terakhir kemiskinan kultural: yaitu kemiskinan yang disebabkan karena masyarakat setempat mengembangkan budaya (sistem kepercayaan, sistem nilai, pranata sosial dsb.) yang menghambat usaha pembangunan atau pengentasan kemiskinan (Wirutomo, 2007).
Menurut Giddens (2001: 311), kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi “kemiskinan absolut” dan “kemiskinan relatif”. Orang disebut miskin absolut bila kemiskinannya berada di bawah garis batas yang telah ditentukan (garis kemiskinan). Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dipersepsikan oleh orang yang bersangkutan. Walaupun seseorang tidak tergolong miskin secara absolut, tetapi dia bisa merasa dirinya miskin.
Pemaparan beragam perspektif yang melihat kompleksitas kemiskinan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan secara mudah dan simplistik karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain tersebut diperhitungkan. Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka jika disimpulkan, indikator utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Sementara itu, evolusi mengenai arti kemiskinan dan pengukurannya berkembang dari waktu-ke waktu. Andre Sumner (2007) memetakan nya sebagai berikut:
Tabel 1. Evolusi Makna dan Pengukuran Kemiskinan
Period Concept of Poverty Measurement of Poverty
1960s Economic GDP per capita growth
1970s Basic needs (inc.economic) GDP per capita growth + Basic needs
1980s Economic GDP per capita
1990s Human development (inc.economic) UNDP Human Development Indices
2000s Multi-dimensional ‘freedom’ Millenium Development Goals
Andre Sumner (2007)

Tabel. 2 Indikator Ekonomi dan Non-ekonomi Untuk Mengkur Kemiskinan
Economic poverty indicators
  • Income per capita
  • Real wages
  • Unemployment rate*


Income poverty lines
  • Percentage of population living on less than one dollar per capita*
  • Percentage of population living below the national poverty line
  • Percentage of population vulnerable to poverty through variance of income or assets


Income inequalty
  • Poverty gap and severitu indices at a dollar a day per capita*
  • Expenditure of bottom quintile as percentage of total expenditure*
  • Gini co-efficient


Non Economic Poverty Indicators
Education
  • Education enrolment rates*
  • Survival to the final grade of primary or secondary school/completion of of primary or secondary school*
  • Literacy rates*


Health and Nutrition
  • Malnutrition rates*/food or calorie consumption per capita/body-mass index
  • Mortality and morbidity rates/life expectancy/not expected to survivve to 40 years/infection rates*
  • Health service usage-skilled personnel at birth/*contraceptive-prevalence rate*/immunisation rates*


Environment
  • Acces to ‘impreved’ water sources*
  • Acces to ‘adequate’ sanitation*
  • Household infrastructure-permanet material used for walls of homes; electricity supply


Andre Sumner (2007)
Note: * denotes indicator is a Millenium Development Goal
Bagaimana pemerintah kita memahami kemiskinan? Fakta di lapangan menunjukkan, selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan program-program pembangunan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi, dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi pertumbuhan fisik (material), sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tatanan pemerintahan yang tidak demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri. Inilah kesalahan paradigma pembanguan di negara kita yang tidak berpusat pada rakyat (people centered development), padahal untuk mengentaskan masyarakat miskin, blue print yang bermuatan option of the poor menjadi sebuah keniscayaan.
Kemiskinan merupakan realitas yang umurnya setua peradaban manusia, tapi pemahaman terhadapnya dan upaya untuk mengatasinya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kemiskinan (dalam berbagai spektrum pemaknaan) sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan, termasuk media.

Yusuf, Iwan Awaluddin. “Judul Artikel”. http://bincangmedia.wordpress.com +URLnya. Tanggal akses), atau sesuai dengan etika dan tata cara pengutipan yang berlak
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dani Quinchy HaluaN 2010

Template By Nano Yulianto